Kalimat diatas adalah bahasa Aceh yang jika diterjemahkan memiliki arti kurang lebih Dengan Kita Menjaga Hutan, Kita Melindungi Air. Acara ini dipelopori oleh Fauna Flora International Aceh yang dimotori oleh Helene Barnes. Hi Helene! ;). Nah tulisan dibawah ini merupakan pengantar kegiatan festival dalam rangka memperingati Hari Hutan dan Hari Air yang dibuat oleh FFI dan saya hanya bantu untuk menyebarkannya ;). Mudah-mudahan kegiatan ini bermanfaat bagi masyarakat Aceh Jaya dan sekitarnya.
______________________________
Ngon Ta Jaga Uteun, Ta Peulindung Ie
Dengan Kita Menjaga Hutan, Kita Melindungi Air
Calang, 25 Maret 2006
Satu tahun lebih bencana alam gempa bumi dan tsunami berlalu. Namun masih banyak pekerjaan yang belum selesai dalam rangka memulihkan kehidupan korban, bukan hanya sekedar pulih, tetapi juga lebih baik dari sebelumnya. Setelah survive dari bencana maha dahsyat dan perjuangan untuk terus melanjutkan hidup, rasanya tidak berlebihan jika masyarakat Aceh Jaya sekedar melepaskan letih, emosi, kesedihan dan mereguk sedikit kegembiraan melalui Festival Budaya dan Alam-Aceh.
Festival tersebut juga sekaligus memperingati Hari Hutan sedunia yang jatuh pada tanggal 21 Maret dan Hari Air sedunia yang jatuh pada tanggal 22 Maret. Disengaja atau tidak peringatan hari hutan yang berdekatan tersebut seakan-akan menggambarkan betapa erat kaitan antara hutan dan air, yang dituangkan ke dalam tema festival ‘Ngon Ta Jaga Uteun, Ta Peulindung Ie’ (Dengan Kita Menjaga hutan, Kita Melindungi Air).
Festival Budaya dan Alam Aceh merupakan perayaan terbesar pertama yang diadakan di Aceh Jaya pasca tsunami. Diselenggarakan oleh Fauna & Flora International (FFI) Program Aceh yang didukung Rare Conservation, Austria Aid, British Petroleum, ACE, Rotary, Atlas Logistic, Oxfam, IFRC (The International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies), American Red Cross, Palang Merah Indonesia, Pemerintah Daerah Aceh Jaya, Seurikat Mukim, AMM (Aceh Monitoring Mission), MDM (Medicos Del Mundo-Spain), Sanggar Tari TALO dan tidak ketinggalan kelompok volunteer teknologi informasi AirPutih.
Festival Budaya dan Alam Aceh bukan sekedar memberikan suguhan hiburan sepihak. Namun juga memberikan ruang bagi pelajar dan seniman untuk mengekspresikan dirinya. Berisi sebuah ajang penyampain pesan betapa pentingnya memastikan lestarinya budaya dan alam Aceh, dan semua upaya tersebut hanya dapat dicapai dalam suasana damai. Pesan damai tersebut akan disampaikan oleh AMM dengan sosialisasi MoU RI-GAM.
Untuk keperluan acara tersebut, panitia akan merombak lapangan logistik bantuan Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah International (IFRC) kota Calang menjadi arena hiburan sepanjang hari. Termasuk pembuatan pagar pembatas untuk memisahkan penonton laki-laki dan perempuan sebagai persyaratan dari Dinas Syariat Islam agar acara tersebut tidak menyalahi peraturan.
Festival yang direncanakan akan memakan waktu sehari penuh pada tanggal 25 Maret 2006 tersebut akan dimulai sejak pukul 9 dengan diawali seremonial pembukaan oleh Penjabat Bupati Aceh Jaya yang kemudian disusul oleh tarian masal Ranub Lampuan dan tarian massal Likok Pulo oleh para pelajar SD dan SLTP Calang. Ranub adalah sirih dalam bahasa Aceh, menyajikan sirih kepada tamu dalam tradisi Aceh adalah sebuah ungkapan rasa hormat. Sehingga tarian ini dipersembahkan oleh para pelajar sebagai ungkapan rasa hormat kepada seluruh elemen yang mendukung terselenggaranya festival ini. Sesi pagi hari tersebut kemudian dilanjutkan ‘lomba lukis alam’ bagi siswa sekolah dasar.
Sesi siang hari dimulai pukul 14.00 setelah selesai istirahat siang dan sholat. Meskipun para pelajar sekolah di Calang harus belajar dengan fasilitas yang serba minim bahkan sejak sebelum tsunami, hal tersebut tidak menghalangi mereka untuk terus mengasah intelektualitas mereka. Dan hal ini akan di tunjukkan dalam ajang lomba mewarnai tingkat SD, lomba melukis tingkat SMA. Sedangkan bagi pelajar SMP akan mengikuti perlombaan baca puisi. Sebelum break untuk sholat Ashar, para peserta akan diajak untuk terlibat dalam permainan pendidikan lingkungan.
Boleh beristirahat tapi jangan beranjak jauh-jauh. Top Dabouh atau Debus yang akan dipersembahkan oleh Sanggar Geunta Barona, Teunom akan menghibur sesaat setelah istirahat sholat Ashar. Dabouh adalah bahasa Aceh untuk debus sebagai kesenian yang terkenal di daerah Banten. Namun debus di Aceh memiliki akar sejarahnya sendiri. Menurut catatan sejarah, Debus itu sendiri sebenarnya ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah. Tarikat ini dibawa oleh Nurrudin Ar-raniry ke Aceh pada abad 16. Tarikat ini ketika melakukan ketika sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena “bertatap muka” dengan Tuhan), mereka kerap menghantamkam berbagai benda tajam ke tubuh mereka. Setelah tarian Top Dabouh, Sesi ini kemudian akan diakhiri dengan tarian langka Dikhe Pham yang akan dibawakan oleh siswa SMAN Panga hingga istirahat untuk sholat Maghrib dan Isya.
Selepas Isya, acara akan dimulai dengan pengumuman pemenang lomba dan tarian Ranub Lampuan dan tarian terkenal Rapa’i Geleng oleh sanggar tari TALO. Kelompok ini juga telah mendedikasikan kemampuannya dengan melatih para pelajar di berbagai sekolah di kota Banda Aceh, Lamno dan Calang.
Sebagai puncak acara, kelompok musik Kande dan Rafli akan menghibur dengan lagu-lagu berbahasa Aceh yang telah dikenal di mancanegara. Pentas Rafli di Calang juga merupakan bagian dari ajang lepas rindu Rafli yang dulu pernah mendarmabaktikan dirinya sebagai guru di salah satu sekolah di kecamatan Panga. Maka menghibur masyarakat Aceh Jaya juga mengingatkan masa lalunya yang pernah menjadi bagian dari masyarakat Aceh Jaya.
Antusiasme masyarakat dalam menyambut acara ini tercermin dari dukungan Seurikat Mukim Aceh Jaya. “Kami harap acara ini bukan hanya menghibur tetapi juga pesan-pesan tentang pelestarian alam dan budaya Aceh meresap dalam benak setiap pengunjung, demikian halnya proses rekonstruksi mudah-mudahan tidak mengabaikan pelestarian alam dan budaya Aceh”, demikian menurut Drs. Anwar selaku Wakil Ketua Seurikat Mukim. “Besar harapan kami agar Bapak Kuntoro bisa bersama masyarakat Aceh Jaya dalam merayakan acara ini”, lanjut P. Anwar yang juga merangkap sebagai Imum Mukim Rigaih.
Konflik dan tsunami tidak menghentikan masyarakat untuk melanjutkan hidup mencapai harapan. Masih ada harapan di Aceh!!! Kehilangan tempat belajar yang diterjang tsunami tidak membuat pelajar berhenti berekspresi, ditengah gempuran budaya luar, tidak membuat seniman melupakan seni tradisional, dan ditengah kesulitan untuk membangun hidup kembali, bukan suatu alasan bagi masyarakat untuk merusak alam.
Untuk informasi lebih lanjut:
1. Tisna Nando (08126988515 or 08158227171 or 06547006024) email: tnando[at]gajahsumatra.org or tisna[at]msn.com
2. Zulfan Monika (085260121211) email: Zulfan.monica[at]gmail.com
3. Zulfan Abdullah (081360093035 or 06547006350) email: Calang[at]gajahsumatra.org
Walaupun sudah jauh dari kampung halaman masih tetap seorang pecinta alam.
Vote for dudi.
emang bener dudi is the best 🙂
#!/Dudi/Gurnadi » Internet Camera Server di Calang
Hmmmmm 😕
Duche, punya pic kondisi Ladia Galaska gak?
lohhhhh
dudi masih pecinta alam ta ?????
:))
;)halo