Kekuatan Pokok Mininum atau yang lebih dikenal dengan sebutan Minimum Essential Forces (MEF) merupakan proses memodernisasi alutsista Indonesia yang telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2007. Program ini tidak hanya mengembangkan alutsista melalui pengadaan, tetapi juga melalui pemberdayaan industri pertahanan untuk membangun kemandirian.
Adapun dampak yang ditimbulkan apabila MEF tidak terpenuhi sangatlah besar. Dalam lampiran Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Kebijakan Penyelarasan Minimum Essential Force Komponen Utama, menyebutkan bahwa beberapa resiko yang dapat diterima Indonesia apabila MEF tidak terpenuhi, adapun kemungkinan resiko tersebut adalah:
- Ancaman dan gangguan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI semakin besar dan berdampak pada stabilitas nasional.
- Tidak tercapainya program pembangunan nasional bidang pertahanan negara.
- Posisi tawar (bargaining position) pemerintah Indonesia dalam diplomasi internasional melemah dan kurang diperhitungkan oleh masyarakat internasional.
- Tidak terpenuhinya pembangunan MEF Komponen Utama mengakibatkan menurunnya daya tangkal (deterrence) pertahanan negara di kawasan.
- Menurunnya posisi daya saing bangsa (Competitive Index) di lingkungan internasional.
- Berkurangnya kemampuan TNI didalam melaksanakan tugas pokoknya.
Mengingat faktor resiko yang dapat berdampak vital terhadap Indonesia, maka MEF merupakan hal yang signifikan untuk dipenuhi. Sementara MEF baru dimulai pelaksanaannya di Indonesia sejak tahun 2010 dan dilaksanakan dalam beberapa tahap. Tiap tahapnya berjarak waktu selama 5 tahun.
- Tahap I (pertama) MEF dimulai sejak tahun 2010 hingga tahun 2014
- Tahap II (kedua) berlangsung sejak tahun 2015 hingga 2019
- Tahap III (ketiga) dilaksanakan dari tahun 2020 hingga 2024
- Tahap IV (keempat) direncanakan berlangsung sejak tahun 2025 hingga 2029.
Menentukan pilihan optimal antara pengaturan (defense spending) dan economic growth
Berdasarkan data BPS, PDB Indonesia pada tahun 2019 adalah sebesar Rp15.833,9 triliun. Artinya, di tahun 2019 alokasi anggaran pertahanan hanya sebesar 0,68 persen dari PDB dengan kata lain masih di bawah rata-rata anggaran pertahanan negara-negara ASEAN
Sumber: Nota Keuangan dan APBN Kemenkeu 2020
Hal ini memperlihatkan bahwa, Indonesia belum mampu bersaing dengan negara-negara yang ada di Asia Tenggara dalam hal belanja militer. Tentunya, dengan melihat pada resiko-resiko yang telah disebutkan di atas, maka hal ini akan sangat berpengaruh bagi keamanan dan kedaulatan wilayah di Indonesia dikarenakan kurangnya efek penggentar yang dimiliki untuk menjaga keutuhan wilayah kesatuan Indonesia.
Anggaran pertahanan di bawah 1 % untuk negara sebesar Indonesia tentu sangat kecil sekali, apalagi jika dibandingkan dengan Singapura, negara kecil seperti Singapura mendapatkan anggaran pertahanan 3.1% dari PDB, sementara Indonesia justru sebaliknya.
Berkaca dari kasus di atas, maka diperlukan pembahasan secara mendetail dan rinci antara legislatif, eksekutif dan TNI untuk menentukan alokasi anggaran pertahanan dengan melihat pada pertumbuhan ekonomi serta disesuaikan dengan kondisi PDB yang ada, sehingga komposisi anggaran pertahanan dapat terpenuhi untuk mencapai syarat MEF. Hal ini bisa dilakukan dengan mengacu kepada Renstra Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia tahun 2015-2019 yang menyebutkan bahwa target anggaran pertahanan negara adalah 1,5 persen dari PDB. Namun faktanya hingga saat ini, angka tersebut belum pernah tercapai.
Pengaturan defense spending yaitu pilihan opsi pengeluaran belanja Pemerintah untuk pertahanan dan perlindungan ancaman
Secara peraturan, sebenarnya Program MEF dilakukan untuk mencapai kebutuhan minimum perlengkapan alutsista dengan cara tidak hanya pengadaan barang dari luar negeri, tetapi juga melalui pemberdayaan industri pertahanan untuk membangun kemandirian.
Namun untuk pemberdayaan industri pertahanan di Indonesia masih terdapat kendala yaitu terbatasnya infrastruktur dasar industri pertahanan dalam negeri dan rendahnya investasi dalam pengembangan riset ilmu untuk menunjang industri pertahanan. Industri pertahanan di Indonesia belum dapat memenuhi permintaan dari instansi pemerintah karena tidak menerapkan teknologi tercanggih. Hal ini dibuktikan Indonesia masih melakukan impor seperti fregat, corvet dan kapal selam dari Belanda, Inggris dan Jerman, tank tempur dari Jerman, serta masih mengimpor semua pesawat tempurnya yaitu jet tempur F-16 dan F-5 dari Amerika Serikat, Sukhoi dari Rusia, pesawat patroli maritim dan transportasi dari Amerika Serikat dan Spanyol, serta pesawat latih dari Korea Selatan.
Untuk itu, defense spending tetap harus dilakukan agar MEF dapat terpenuhi, namun tetap difokuskan untuk menciptakan industri pertahanan di Indonesia.
Penghematan penggunaan sumber daya nasional melalui realokasi sumber daya langka yang tersedia.
Melihat alokasi anggaran pertahanan masih di bawah 1% dari PDB, sementara target anggaran berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Pertahanan adalah 1.5%, maka dibutuhkan realokasi anggaran agar bisa mencukupi kebutuhan anggaran pertahanan.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara melakukan penghematan sumber daya nasional seperti misalnya penggunaan BBM yang selama ini mengandalkan dari Sumber Daya Alam diubah menjadi energi yang terbarukan, sehingga alokasi anggaran BBM yang selama ini menghabiskan cukup besar bisa dialokasikan untuk anggaran pertahanan. Selain dari contoh yang telah disebutkan, diperlukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui sumber daya nasional apa saja yang bisa dihemat sehingga semua alokasi anggarannya bisa ditujukan kepada rencana strategis anggaran pertahanan yang mencapai 1.5% dari PDB dengan harapan syarat MEF bisa tercapai.