Tanggal 17-12-2005 Heru Nugroho mengumumkan di milis Technomedia tentang terbitnya buku dengan judul Sejarah Tumbuh di Kampung Kami, Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami. Buku ini ditulis oleh Mardiyah Chamim (wartawan Tempo) yang sempat berada di Aceh selama beberapa bulan. Wandi berbaik hati menitipkan buku ini kepada Iqbal yang tengah berkunjung ke posko Airputih di Mampang Prapatan, Jakarta untuk diberikan kepada Saya. Duh, jadi terharu masih ada yang mau memberi buku ke Saya. Makasih ya Ndi…. Nah, sebagai balas budinya saya mencoba untuk membuat review tentang buku ini.
Buku ini memiliki cover pintu masjid dengan berlatar belakang reruntuhan tsunami dan disponsori oleh empat lembaga yaitu Yayasan Airputih, Yayasan Puter, Jaringan Relawan Kemanusiaan dan Cysco System Indonesia. Dengan tebal 197 halaman buku ini berkisah tentang pernak pernik kejadian pasca tsunami di Aceh mulai dari kejadian yang menyedihkan, lucu, mengharukan sekaligus kisah-kisah kepahlawanan dadakan yang ada di Aceh. Dilengkapi dengan beberapa foto memberikan nilai tambah buku ini untuk menggambarkan kondisi Aceh pasca tsunami. Mardiyah Chamim dengan kemampuan sastra yang baik ternyata sangat pandai merangkai kata menjadi untaian kalimat yang indah dan enak dibaca.
Jika anda sering membaca koran atau menonton televisi tentang pasca tsunami, maka didalam buku ini anda akan mendapatkan cerita-cerita lain yang tidak pernah ada dalam kedua media tersebut. Mardiyah juga menceritakan bagaimana kebobrokan pemerintah dalam mengelola kejadian Aceh, selain itu ia juga menyinggung tentang keberadaan beberapa LSM yang saling sikut atau bahkan sisi gelap manusia dalam melakukan penjarahan mayat di Bumi Aceh. Hampir semua lini yang terkait dalam kejadian di Aceh tidak luput dari pandangannya dan semua dituliskan dengan apa adanya. Membaca buku ini saya juga serasa dibawa ke dalam kondisi Aceh yang carut marut pasca tsunami. Rangkaian beberapa kejadian penting seperti Gempa Nias dan juga MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM juga tertulis dalam buku ini. Bahkan rentetan peristiwa setahun kondisi Aceh terangkum dengan jelas dalam buku ini. Ternyata kejadian tsunami di Aceh jauh lebih kompleks daripada yang sering saya baca di koran ataupun lihat di TV.
Dalam buku ini Mardiyah juga menyinggung tentang munculnya pemimpin lokal dalam kondisi krisis. Tersebutlah beberapa nama seperti misalnya Syamsuddin dari Desa Lamsenia, Kecamatan Leupung atau seperti Panglima Laot Cut Nyak Daud dari Desa Lampuuk. Pada Bab XII saya dibawa ke beberapa cerita yang dialami oleh orang-orang yang mengalami langsung kejadian tsunami seperti halnya Bidan Erni yang bangkit kembali setelah 15 hari pasca tsunami dan kemudian membuka klinik padahal suami dan anak hilangnya entah ada dimana, atau tentang Panglima Laot Lampuuk Cut Nyak Daud yang berhasil memandu warga untuk menyelamatkan diri dengan tenang atau bahkan cerita yang mengharukan tentang seorang supir taksi yang bertempat tinggal di taksi dan tidak memiliki rumah karena trauma jika mengingat anak istrinya yang hilang ditelan tsunami.
Mardiyah juga tidak lupa menyelipkan profil beberapa Yayasan yang ia kenal. Yayasan Airputih sebagai salah satu penyedia jasa internet gratis di Aceh juga ia tuliskan dalam buku ini di halaman 135 sampai dengan 143. Tersebutlah beberapa nama yang saya kenal seperti Wandi, Imron Fauzi, Sugeng Widodo Wibowo, Edo dan Anjar Ari Nugroho. Saya jadi malu tidak bisa seperti mereka yang memberikan kontribusi begitu besar untuk Aceh. Salut buat kalian semua.
Profil tentang Yayasan Puter dan Jaringan Relawan Kemanusiaan tidak lupa ia tuliskan dalam buku ini. Jatuh bangunnya ketiga yayasan dalam mendampingi masyarakat Aceh terangkum dengan jelas dalam buku ini. Bisa jadi profil ketiga yayasan ini mewakili pola kerja LSM dan juga relawan di Aceh selama beberapa bulan belakangan ini. BTW, selain profil tentang yayasan di atas ternyata Alex salah satu warga kampung gajah juga tertulis dalam buku ini sebagai seseorang yang sering menuliskan kondisi Aceh pasca tsunami diblognya dengan ekspresif.
Terlepas dari itu semua Saya menilai buku ini pantas untuk dibaca dan dikoleksi. Saya sendiri hanya bisa berdoa semoga Aceh bisa bangkit kembali dan memang benar kata buku ini Sejarah Tumbuh di Kampung Kami dengan kata lain saat ini Aceh mulai menata kembali kehidupannya dan saya yakin Sejarah Baru Akan Tumbuh di Bumi Aceh. Semoga!
Aceh adalah sebuah martir untuk bangsa yang sedang susah ini, semoga aceh bisa segera bangkit kembali begitu juga dengan negeri ini.:)
Mbak Diah (Mardiyah Chamim) meninggalkan pekerjaan sebagai wartawati Tempo datang ke Aceh sebagai relawan.
Selama menjadi relawan di NAD mbak Diah melakukan berbagai macam pertolongan darurat yang jauh dari profesinya sebagai wartawan. Membersihkan, mengepel masjid. Bersama relawan lainnya membangkitkan kembali lembaga adat Panglima Laot.
Melalui buku Sejarah Tumbuh di Kampung Kami, mbak Diah menuturkan pengalamannya selama menjadi relawan termasuk kisah-kisah pahlawan Aceh sebagai pelaku sejarah di kampungnya.
NB : dudi, namanya susee itu bukan sugeng widodo tapi sugeng wibowo 😀
Apa yang dilakukan seorang sahabat bila menyaksikan temannya kehilangan seorang ayah? Tentu saja menghiburnya dan membesarkan jiwanya. Tampaknya, itulah yang dilakukan Mbak Diah sebagai seorang wartawati.
Aceh memang memiliki sejarah yang panjang. Ia bahkan telah “merdeka” lebih dahulu dibanding negara Indonesia. Dan mungkin, kalau tidak karena rakyat Aceh, Indonesia akan sulit mengapai kemerdekaan dari kaum penjajah.
Waktu itu, dengan mengumpulkan perhiasan dan harta benda yang mereka miliki, rakyat Aceh kemudian menyumbangkan pesawat kepada Indonesia untuk menggapai kemerdekaan.
Namun apa yang dibalas? Bak susu dibalas air tuba, Aceh malah “teror” oleh militer. Dari situlah timbul Gerakan Aceh Merdeka yang sangat memusuhi orang-orang Indonesia (terutama Jawa). Bagi mereka, orang Jawa adalah “penghianat” yang tidak tahu balas budi.
Tidak berlebihan jika kemudian dikatakan: Aceh merupakan pangkal sejarah. Ibu kandung dari Negara Indonesia.
Dan Akhir Desember tahun 2004 lalu, Aceh dilanda musibah besar. Entah sebagai peringatan atau apa, dari sinilah kiranya, Indonesia harus memperbaharui hubungan baik itu. Perdamaian dengan GAM telah disepakati. Dan kita tidak ingin Aceh kecewa lagi.
Aceh pernah berjaya dan nanti Aceh juga akan tetap berjaya (bisa bangkit dari musibah). Insya Allah…
peran dudi dan teman-teman secara nyata untuk saudara kita di NAD adalah dalam pembuatan program Missing Person yaitu media saling berbagi informasi mengenai korban musibah di NAD.
salut bro 🙂
review yang sepihak, hanya ngomongin bagusnya. tidak ada masukan yang berarti. wajar aja, namanya juga dikasi gratisan. hahahaha.
namun setidaknya, dudi sudah menunjukkan kelasnya sebagai hacker berwawasan luas. mau membaca dan menulis review-nya.
hacker yang kaffah…
btw, peran dudi dalam memasukkan airputih ke aceh boleh disebut-sebut ndak ya?
Terharu juga aku padahalbelum sempat baca bukunya tuh. tapi gue salut tuk pahlawan-pahlawan yang rela mengorbankan segalanya demi Tanah tercintanya.
Bangkitlah Bumi ACEH …….!
#5. sebut aja peran mas dudi itu, jadi pingin tau jg neh 😀
tapi aku bangga, ternyata aku bisa kenal sama orang penting 😉
wadah, aku itu gak punya kontribusi seperti rekan-rekan yang saya sebutkan diatas 🙂
mas dudi, terimakasih sekali atas review yang bagus ini. saya sangat menghargainya.
anyway, saya ndak seheroik yang dikatakan Roim, lo. cuti setahun dari Tempo lebih karena saya enek banget dengan rutinitas kerja. rasanya benar-benar seperti dibelengggu. kebetulan saat itu terjadi tsunami di Aceh sehingga saya punya waktu lebih longgar untuk beraktivitas di sana.
buku ini juga mustahil terwujud jika saya tidak berjumpa dengan teman-teman Air Putih yang bekerja tulus. Orang-orang seperti mereka yang menguatkan motivasi di lapangan.
tabik,
diyah
Mas,salam kenal..
Kalo boleh,mo minta alamat emailnya Dio (Diah Garsanti)dong..
Aku temen dia di SMU 3 Malang, kelas 1 dan 2-nya..
Thanks before..
Mas, bukunya udah keluar belum? Pernah liat resensinya di majalah tempo edisi khusus (kalo ga salah), tapi belum bisa nemu di gramed.
Buat Oskar, saya informasikan bahwa buku ini mudah-mudahan sudah ada di Gramedia dan toko buku lain pekan ini. Kami juga melayani pengiriman via kurir. Tinggal sebutkan alamatnya (asal di Jakarta, kalau di luar kota tambah ongkos kirim). Silakan hubungi saya di 081533779740.
sorry mas dudi, numpang iklan 🙂
mardiyah chamim
#9: terima kasih loh udah berkunjung kesini 🙂
#10: udah aku terusin ke emailnya dio, so tunggu aja email dari si dio ya 😉
Wah saya jadi terharu banget nich
Tsunami yang terjadi Di Aceh seolah ingin mengatakan “lihatlah prilaku manusia yang sebenarnya disana”
Pada saat org sedang dalam kesusahan, tapi ada juga yang memanfaatkannya
Btw salut sama org Aceh yang sangat tabah dalam cobaan ini.
Ada relawan dari eropa dan jepang yanga mengatakan salut dgn ketabahan org Aceh, karena bila hal ini mungkin terjadi di negaranya maka
akan dipastikan banyak yg stress (Spanyol)
Mungkin inilah salah satu titik awal dari Kebnagkitan Aceh di masa depan.
Amin
Peace and Love for My Lovely Aceh
renyah baget euy review-nya. jadi penasaran ama bukunya…
dan ga nyangka ternyata aku punya teman yang hebat-hebat, wandi yang ngundang peluncuran buku ini (tapi aku ga bisa dateng), imron (yang kadang sulit dihubungi baik di aceh atau saat di YM :d) dan terutama yang punya blog ini…..
salut buat kalian….
jangan biarkan sejarah kita hilng ditelan zaman.jangan biarkan sejarah menentukan jalannya sendiri.